Kesatuan Haarmonis Yin dan Yang


karya: Rahmi Damayanti

Dibalik kesuksesan lelaki pasti ada wanita hebat dibelakangnya
Untaian kalimat itu memang indah untuk dibaca. Namun mungkin berbeda reaksi ketika orang yang membaca adalah orang yang sensitif dengan kata ‘wanita/perempuan’ dan ‘laki-laki/pria’. Layaknya Adam dan Hawa tercipta bukan untuk saling membenci atau saling berkompetisi, tapi mereka dicipta untuk saling melengkapi, saling mencintai, dan saling memiliki. Begitu pula suatu konsep yang saya dapatkan dari buku “Membiarkan Berbeda?” karya Ratna Megawangi. Penulis menyatakan Kosmologi Cina dengan ungkapan yin dan yang, ”….yang sangat menekankan konsep harmoni-keseimbangan, dan ini disimbolkan antara keduanya yang saling merangkul dalam keselarasan dan keterpaduan. Jika harmoni antara keduanya hilang, maka alam semesta akan berhenti mengalir dan segala sesuatu akan kacau”.  Benang merah yang dapat kita ambil dari ungkapan yin dan yang adalah konsep keseimbangandan keharmonisan yang bisa diterapkan dalam segala aspek kehidupan, walaupun tidak semua orang bisa menerapkannya dengan sempurna.
Isu gender menjadi sebuah fenomena klasik yang tak akan kunjung usai diperbincangkan masyarakat. Sebagian masyarakat Indonesia mungkin kurang peka bahkan kurang peduli dengan fenomena ini, tapi tidak sedikit juga masyarakat yang begitu pro aktif ketika permasalahan gender diangkat ke permukaan.
Berbicara mengenai gender, selama sistem dan pola budaya yang ada di negara kita masih dengan sistem dan pola yang sama, maka permasalahan gender akan berputar layaknya siklus. Selalu ada masalah, tapi tak pernah usai. Melihat fakta di lapangan, (mungkin bisa saja fenomena ini ada di sekitar kita), ketika saya melaksanakan fieldtrip untuk menganalisis tingkat kemiskinan suatu kampung di salah satu desa yang berada di Kota Bogor, ada fenomena menarik mengenai ketimpangan gender. Rata-rata penduduk kampung tersebut memiliki status ekonomi menengah ke bawah. Di sana terdapat sungai dan sebuah pemandian umum yang bebas digunakan siapa saja (baik warga setempat maupun pendatang). Pagi itu pemandangan yang sangat aneh bagi saya ketika menyaksikan para ibu bertebaran di sebuah sungai yang airnya mengalir dengan sangat keruh, bahkan anehnya air yang sudah dialiri cucian baju kotor pun masih dipakai untuk mencuci baju oleh pencuci yang lain. Berjalan beberapa langkah dari sungai tersebut kita dapat menemukan sebuah pemandian umum yang bebas digunakan siapapun (baik untuk remaja, dewasa, orang tua, maupun lansia). Tempat pemandian itu terpisah antara laki-laki dan perempuan. Namun dalam satu tempat pemandian tidak memiliki sekat apapun. Bahkan mereka tidak akan merasa ‘risih’ dengan penampilan mereka tanpa menggunakan kain sehelai pun.
Penduduk setempat menyatakan bahwa tempat umum untuk mencuci dan mandi itu akan selalu ramai dari mulai ayam berkokok hingga jam menunjukkan pukul 20.00. Mungkin kita bisa membayangkan bahwa perempuan di kampung itu (khususnya bagi perempuan yang sudah bergelar ‘ibu’) harus setia mengunjungi tempat umum tersebut berulang-ulang kali untuk melaksanakan tugas domestik seperti mencuci baju, mencuci piring, serta mengambil air untuk memasak. Tempat pemandian serta sungai yang terdapat di dalam kampung tersebut merupakan sumber air utama bagi keluarga yang tidak mempunyai kamar mandi pribadi di rumahnya. Sehingga mereka yang memiliki status ekonomi rendah sangat bergantung dengan tempat umum tersebut. Terlepas dari kondisi tersebut, permasalahan gender yang terdapat dalam kejadian itu adalah kemiskinan yang berimplikasi pada bertambah beratnya peran perempuan dalam melakukan tugas domestiknya. Bagi penduduk yang mempunyai fasilitas air di dalam rumahnya sendiri akan semakin mudah dalam menjalankan tugas domestik, sebaliknya bagi mereka yang tidak mempunyai fasilitas, harus bekerja lebih keras untuk bisa memenuhi kebutuhannya/menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga. Salah satu ibu menyatakan bahwa suaminya sedang tidak ada di rumah karena mencari nafkah. Apabila kita memikirkan sejenak, mungkin dirasakan ada ketidakadilan. Ketika laki-laki bekerja di sektor publik dengan jumlah jam yang lebih kecil dari jam kerja perempuan di tempat tinggalnya yang harus mengurus keperluan rumah tangga. Terlebih dengan kondisi sulit seperti itu, bukan hanya sekali atau dua kali mereka harus berkunjung ke tempat pemandian dan pencucian umum. Kesulitan lain bagi pihak perempuan pun akan semakin bertambah ketika cuaca sedang tidak mendukung (seperti sedang hujan atau kemarau). Lantas, apakah kita layak menyalahkan laki-laki karena mereka tidak memiliki proporsi kerja yang sama dengan para perempuan yang berperan sebagai ibu rumah tangga??? Jawabannya tidak sama sekali. Karena kita secara krodati pun memiliki tugas serta hak yang telah Tuhan gariskan. Berkenaan dengan itu, saya mencoba mengangkat kembali konsep keseimbangan dan keharmonisan seperti ungkapan yin dan yang yang telah dikemukakan oleh Ratna Megawangi dalam Bukunya “Membiarkan Berbeda?”, terwujudnya keharmonisan sosial perlu didekati dengan penyadaran pada tingkat individu terlebih dahulu. Setiap individu, baik pria maupun wanita, perlu mengadakan intropeksi ke dalam untuk mentransformasikan batinnya agar menjadi manusia yang lebih sempurna dan seterusnya menjadi insane kamil. Ketika semua orang menggunakan konsep ini,maka sifat/prasangka negatif yang lebih mengangkat kaum perempuan serta seolah-olah menyudutkan kaum laki-laki bisa dinetralisir. Karena pribadi yang mempunyai keunggulan batin akan setia menghormati dan memenuhi hak setiap makhluk hidup di luar dirinya. Keadaan ini tentu akan terefleksi juga dalam setiap relasi sosial yang diwarnai dengan keharmonisan, walaupun penuh dengan keragaman. Inilah suatu asa yang akan terbentuk walaupun dengan proses yang panjang. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang penuh dengan kedamaian yang ikhlas untuk menerima keragaman yang ada tanpa memaksakan untuk mengubahnya (melawan kodrati).

Komentar