Menelusuri desa,,,,bersama ilmu Sosiologi Pedesaan....Amazing!

Sudut Kelam Kota Hujan
(Studi Kasus: Faktor Penyebab Kemiskinan Kampung Warung Borong RT 01/RW 02, Ciampea, Bogor, Jawa Barat) 1

Oleh:
Kelompok 12

Siapa yang menyangka, beberapa kilometer dari kampus hijau Institut Pertanian Bogor terdapat sebuah pemukiman yang tidak ‘hijau’. Selain jarang ada lahan untuk ditanami pepohonan juga karena kondisi pemukiman tersebut saling berhimpitan letak rumahnya. Bagi tamu atau pendatang yang berkunjung ke kampung Warung Borong, mungkin akan merasa tidak nyaman dengan pemandangan yang memilukan ini. Ya, itulah Kampung Warung Borong, salah satu kampung kecil di sudut kota Bogor.
Jika tidak terlalu memperhatikan jalan ke arah Ciampea dari kampus mungkin tidak akan menemukan daerah ini. Letaknya ada di dalam gang/lorong panjang yang tidak begitu jauh dari jalan raya persimpangan Ciampea. Di depan gang yang hanya bisa dilewati satu motor tersebut, tidak ada penunjuk gang, maka tidak akan dipungkiri jika tamu/pendatang sulit menuju ke tempat ini. Sebelum memasuki gang sempit, akan ditemukan beberapa rumah yang tampak bagus, dengan cat berwarna-warni, tembok yang berubin, dan tanaman-tanaman hias yang menggantung. Namun setelah berjalan lima menit menelusuri gang sempit, akan dijumpai pemandangan yang kontras dengan rumah penduduk yang baru saja terlewati. Pemandangan anak-anak kecil berlarian tanpa busana, para ibu yang bercengkarama dengan daster lusuhnya sambil mencuci di kamar mandi umum, puluhan rumah tanpa cat menumpuk tak teratur, celana lusuh dan pakaian lain yang dijemur di atas atap yang tidak tinggi, lalat-lalat hijau berterbangan di sebuah rumah yang dijadikan pasar kecil-kecilan di antara rumah penduduk lainnya. Itulah yang akan memanjakan mata bila berkunjung ke RT 01/ RW 02, Kampung Warung Borong, Ciampea, Bogor yang merupakan lokasi pengamatan turun lapang kami.
Setelah menguraikan keadaan Kampung Warung Borong, yang menjadi pertanyaan adalah apa faktor yang menyebabkan keaadaan tersebut bisa terjadi serta bagaimana usaha warga untuk melepaskan diri dari keadaan tersebut.
Tulisan ini membahas hasil turun lapang yang dilakukan di Kampung Warung Borong, Ciampea, Bogor. Data yang diperoleh adalah dari pengamatan langsung dan wawancara secara mendalam dengan pendekatan personal yang bersifat kualitatif. Selain itu, data-data lain seputar keadaan desa, jumlah penduduk diperoleh secara langsung melalui pengamatan terhadap kondisi fisik desa tersebut serta data administrasi RT setempat.
 

[1]   Judul Laporan Turun Lapang  MK. Sosiologi Pedesaan
2    Arini (A34090010), Nisa Rizki Poerwitasari (A34090062), Muqtasidun Saifullah H. (C54090050),  Muhammad Sudibjo (C54090065), Indri Irmawati (I24090015), Rahmi Damayanti (I24090034).


Kemiskinan di Kampung Warung Borong
Kemiskinan terjadi karena pendapatan yang rendah, dan pendapatan yang rendah diakibatkan oleh berbagai macam sebab, misalnya sempitnya lahan pertanian garapan petani di desa, gaji rendah buruh kasar di kota, pengangguran terbuka. (Panjaitan 2000).
Kemiskinan menurut Poli (1993) yaitu keadaan tanpa keterjaminan pendapatan, kurangnya kualitas kebutuhan dasar, rendahnya kualitas perumahan dan aset-aset produktif, ketidakmampuan memelihara kesehatan yang baik, ketergantungan dan ketiadaan bantuan, adanya perilaku antisosial, kurangnya dukungan jaringan untuk mendapatkan kehidupan yang baik, kurangnya infrastukrtur dan keterpencilan, serta ketidakmapuan dan keterpisahan.
Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life (James. C.Scott, 1981), mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Sekitar 20 persen penduduk Indonesia dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004)
Dalam kenyataannya, kemiskinan merupakan perwujudan dari hasil interaksi yang melibatkan hampir semua aspek yang dimiliki manusia dalam kehidupannya. Karena itu, kemiskinan dapat dilihat atau dikaji menurut berbagai aspek kehidupan sesuai dengan ilmu dan tujuan pengkajian. Dari hasil wawancara dan pengamatan kami, warga Kampung Borong tidak memiliki jaminan pendapatan karena sebagian besar kepala keluarganya bermatapencaharian tidak tetap dan hanya bekerja jika ada panggilan saja. Misalnya sebagai kuli bangunan, pembantu bagian tata usaha perkantoran, biro jasa, nelayan di kapal minyak, pedagang mie ayam, pedagang jamu, pedagang soto mie, pedagang gorengan dan es batu yang pendapatan per harinya tidak tetap. Bahkan ada keluarga yang menggantungkan hidupnya dari uang pensiunan kepala keluarga dan ‘jatah bulanan’ dari anak yang telah berkeluarga. Warga mengaku pendapatan mereka hanya cukup untuk konsumsi sehari-hari. Mereka tidak mampu menabung untuk masa depan. Bila ada kesulitan keuangan mereka meminjam kepada tetangga dan keluarga.
Selain itu, rendahnya kualitas perumahan juga tergambar di lokasi turun lapang ini. Terdapat 141 keluarga yang tinggal berdesak-desakkan di hunian berpetak tak cukup luas. Tidak jarang ditemui dalam satu rumah dihuni hingga empat keluarga. Di dalam rumah pun jarang ditemui adanya kamar mandi, meski ada satu sampai dua rumah yang memilikinya. Warga biasanya menggunakan kamar mandi umum dekat mushola untuk mandi, mencuci pakaian dan mencuci alat makan. Kondisi kamar mandi umum ini pun memprihantinkan. Air kamar mandi berasal dari sungai kecil yang melintasi pemukiman. Warna airnya cokelat dan agak berbau, tidak baik bagi kesehatan. Atap kamar mandi terbuat dari seng yang mudah terlepas bila ada badai. Banjir dari sungai pada saat hujan juga menghampiri pemukiman.
Terdapat berbagai ukuran untuk menetapkan garis kemiskinan. Beberapa diantaranya yang menggunakan perhitungan sederhana, sebagai berikut (Tampubolon, 2007):
1.      Kebutuhan pangan minimum 2.100 kalori per hari per orang dapat dipenuhi (BPS)
2.      Pendapatan minimal seharga 20 kg beras/bulan di desa atau 30 kg beras/bulan di kota (Prof Sajogya)
3.      Berpenghasilan US$ 2 per hari per orang (World Bank)

Sesuai dengan ukuran garis kemiskinan di atas, berdasarkan keterangan warga yang kami wawancarai dapat dikatakan sekitar 40% warga Kampung Warung Borong belum bisa memenuhi kebutuhan pangan minimum 2.100 kalori per hari per orang serta penghasilannya belum mencapai US$ 2 per hari per orang. Sebagian besar warga menyatakan pemasukan per keluarga memang lebih dari Rp 20.000,00. Namun, apabila dihitung rata dengan jumlah anggota keluarga, pemasukaan dengan nominal lebih dari 20.000 itu masih sangat kurang. Seperti Keluarga Ibu Laymila yang menyatakan bahwa jumlah keluarganya ada tujuh orang dan pemasukan keluarga per harinya hanya sekitar Rp 30.000,00. Bisa dibayangkan, biaya yang harus dikeluarkan Ibu Laymila dengan uang 30.000 per hari untuk mencukupi kebutuhan 6 angota keluarganya ditambah dengan dirinya sendiri. Mungkin Ibu Laymila harus sangat telaten dalam mengatur uang, sehingga kebutuhan keluarganya bisa terpenuhi. Begitu pula dengan keadaan beberapa keluarga lainnya yang mempunyai masalah yang sama: pemasukan keluarga sudah lebih dari 20.000 namun bukan penghasilan per orang.

Permata di antara Kerikil
Kondisi yang menyulitkan tidak terlalu dianggap menjadi beban berat bagi warga RT 01/RW 02 Kampung Warung Borong. Hidup terus berjalan tanpa menghakimi siapa yang salah, yang menarik dari warga disana ialah mereka yang memiliki kamar mandi sendiri tetap saja menggunakan kamar mandi umum untuk mandi dan mencuci. Sudah terbiasa katanya. Ternyata dibalik keruwetan keadaan di kampung tersebut, masih terdapat rasa kebersamaan. “Jika tidak mencuci disana, aneh saja”, tambah salah satu warga disetujui warga lainnya.
Rasa saling memiliki dan perilaku tolong menolong juga mengisi kehidupan daerah itu. Karena mereka menyadari bahwa menunggu bantuan dari pemerintah akan memakan waktu birokrasi yang lama, maka warga sendiri yang turun tangan membangun tempat tinggal mereka.
Ibu Saptaniyah berumur 55 tahun adalah warga yang banyak menolong demi terciptanya kesejahteraan di pemukiman tersebut. Ia disegani oleh warga termasuk petingginya yaitu Wakil RT. Bu Saptaniyah hanyalah lulusan SMP dan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Namun keadaan keluarganya yang lebih beruntung dibanding keluarga lain yang menaikkan statusnya. Keberuntungan ini sebenarnya tidak datang begitu saja. Pendidikan tinggi yang ditempuh anak-anaknya sangat membantu tingkat ekonomi rumahnya. Suaminya seorang wiraswasta. Salah satu anaknya seorang Sarjana Ekonomi dari Universitas Djuanda.
Menurut Kuncoro (2000), salah satu faktor penyebab kemiskinan adalah adanya perbedaan kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah dan upahnya ikut rendah. Rendahnya kualitas sumber daya ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan.
Pendapatan rendah sering terjadi pada orang yang berpendidikan  rendah, penduduk yang tinggal di tempat yang alamnya miskin, juga para pemalas. Akan tetapi, selain sebab-sebab di atas, pendapatan yang rendah juga dapat terjadi walaupun seseorang rajin bekerja, dan tinggal di tempat alam yang kaya (Panjaitan, 2000).
Tingginya pendidikan anak Bu Saptaniyah membuat kebutuhan ekonomi keluarganya terbantu karena upah pekerjaannya juga tinggi. Dengan pendapatan yang lebih, keluarga Bu Saptaniyah mampu membuat tabungan dan mendirikan sebuah studio peminjaman alat-alat band yang juga sering mendapat klien dari mahasiswa IPB. Karena nafas kebersamaan sudah melekat di setiap sudut-sudut rumah, Bu Saptaniyah pun tergerak hatinya untuk membantu warga. Keluarganya menjadi donatur terbesar dalam pembangunan dan perbaikan mushola dan kamar mandi umum.
Fakta lain yang menjadi permata di antara kerikil kondisi kemiskinan di daerah tersebut adalah yang terjadi pada keluarga Ibu Sahwati. Ia adalah salah satu korban penggusuran dari Tanjung Priok karena pada saat itu akan dibangun pelabuhan. Ia menerima kompensasi setiap tahunnya. Ibu Sahwati juga selalu menerima upah suaminya sebagai teknisi kapal laut angkutan minyak bumi. Dalam kesehariannya, ia mengisi waktu dengan berjualan soto mie. Pendapatan yang lebih dibanding keluarga lainnya ini tampak jelas dari bangunan rumahnya yang berpagar, bercat dinding, dan berubin. Apalagi rumahnya berada di antara rumah-rumah lain yang dapat dikatakan tidak layak untuk dihuni dan dekat dengan kamar mandi umum. Benar-benar terlihat kontras perbedaannya.
Adanya perbedaan yang mencolok antara kondisi rumah yang dilihat dari tingginya pendapatan keluarga Bu Saptaniyah dan Bu Sahwati dibanding rumah lainnya menunjukkan bahwa tingkat ekonomi disana cenderung majemuk. Ada yang sangat tinggi dan ada yang sangat rendah, yang membuat pemukiman ini terlihat miskin karena tempat tinggal yang kurang (kumuh dan padat) serta tidak teratur pada sebagian besar warga, ketidaktersediaannya air bersih di kamar mandi umum, akses pendidikan yang jauh, dan lainnya.

Faktor Penyebab Kemiskinan
Kita memang tidak bisa main hakim sendiri menyalahkan pihak mana yang menjadi penyebab suatu kondisi terbentuk tidak sesuai dengan yang diharapkan dan dibutuhkan. Namun kemiskinan tidak bisa dibiarkan begitu saja karena setiap manusia pasti menginginkan hidup yang sejahtera. Untuk mendapatkan solusi yang tepat menanggulangi kemiskinan, khususnya di lokasi turun lapang, sudah selazimnya kita mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan di kampung tersebut.
Dari hasil studi kami faktor utama yang menyebabkan kemiskinan di RT 01/RW 02 Kampung Warung Borong, Ciampea adalah pendapatan yang tidak mencukupi akibat dari pekerjaan yang kurang berkualitas karena pendidikan yang rendah. Selain itu juga karena perilaku konsumtif warga, bantuan pemerintah berupa BLT yang tidak tertranslokasikan dengan baik, dan sikap warga yang pasrah pada keadaan meskipun memiliki keinginan untuk berubah.
Pendidikan terakhir warga yang paling tinggi sebagian besar hanya SMA/SMK, SD, dan hanya beberapa warga saja lulusan SMP. Warga yang lulusan SMA dan sederajatnya banyak bekerja di bengkel, tukang bangunan, dan nelayan. Warga yang tidak memiliki pendidikan kejuruan khusus bekerja sebagai pedagang kecil-kecilan di Jakarta. Pasar yang lebih besar di Jakarta membuat warga lebih suka berdagang di Jakarta daripada bekerja di daerahnya sendiri.  Ini berarti, pendapat yang didapat juga harus dikeluarkan untuk ongkos merantau.
Satu hal lagi yang menarik adalah meskipun kondisi pemukimannya tidak teratur dan terlihat miskin, namun apabila masuk ke dalam rumahnya akan terlihat berbeda sekali dengan penampilan luar. Jangan melihat buku dari sampulnya”,  sepertinya pepatah itu sangat sesuai dengan keadaan lokasi turun lapang kami. Di dalam rumah yang kecil dan kotor ternyata banyak terdapat barang elektronik. Dalam satu rumah paling tidak terdapat satu televisi, handphone, DVD/VCD, kulkas, telepon rumah, dan motor.  Namun faktanya fasilitas itu tetap tidak berfungsi dengan baik, atau bisa dikatakan hanya dibeli tapi tidak dipelihara. Tidak dipelihara karena tidak tahu cara penggunaannya dengan benar. Tidak tahu karena pendidikannya rendah. Hanya dibeli namun tidak dikonsumsi dengan baik dan benar. Hanya membeli untuk ikut-ikutan perkembangan zaman, untuk mengikuti hawa nafsu sifat konsumtif mereka. Membeli sesuatu yang kurang begitu penting sehingga tidak memiliki tabungan untuk masa depan dan juga pendapatan hanya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari saja.
Konsumsi lain yang tidak selayaknya dikeluarkan seperti dalam satu keluarga terdapat 2 handphone. Bahkan anak SD pun sudah mempunyai handphone meski yang murah dan berkualitas kelas teri. Harus ada pengeluaran uang untuk membeli pulsa dalam rencana anggaran keluarga.
Menurut data dari Wakil RT, Pak Suryana, dari 141 kepala keluarga (KK) yang tinggal di daerah tersebut, hanya 14 KK saja yang menerima BLT dan 1 keluarga yang mendapatkan PKH. Padahal seharusnya 50 KK berhak mendapatkan bantuan pemerintah tersebut. Dari pihak RT telah melaporkan hal ini namun tingkat Desa kurang sigap membantu sehingga masih banyak warga yang tidak menerima BLT. Proses pemberian bantuan pun sangat lambat dan membuat warga kesal dengan pemerintah. Pemerintah berkunjung ke kampung hanya sesekali saja apabila sedang kampanye politik. Setelah itu tidak pernah datang lagi. Kurangnya perhatian dari pemerintah jugalah yang menyebabkan kemiskinan masih tetap menjamur di daerah tersebut.
Pak Sugimin sebagai orang yang bertanggung jawab menghidupi istrinya yang menderita penyakit jantung dan seorang anak gadisnya yang sedang duduk di bangku SD merasa pasrah saja. Ia menggantungkan hidup keluarganya pada uang pensiunan. Ia bekerja di TU kantoran kalau ada panggilan saja. Karena telah dirasakan sia-sia meminta bantuan dari pemerintah akibat tetek-bengek birokrasinya yang memakan waktu, warga menjadi tidak bergantung kepada pemerintah. Bahkan pasrah-pasrah saja terhadap keadaan miris mereka.

Rekomendasi Solusi
Meski ada beberapa warga yang cukup mampu membantu pembangunan daerah tersebut, seperti yang dilakukan Bu Saptaniyah pada pembangunan kamar mandi umum dan mushola, namun penurunan dan penanggulangan kemiskinan tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak saja. Butuh kerjasama antara warga, petinggi rumah tangga (RT), petinggi desa dan pemerintah untuk menyelesaikannya.
Menurut kami, pemberian modal usaha, motivasi dan pendamping usaha, dan perbaikan sarana umum perlu dilakukan pada daerah tersebut. Pemberian fasilitas listrik dan air bersih sangat membantu mempercepat peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pembukaan usaha baru serta sangat menolong dalam peningkatan gizi masyarakat.
Kami juga mengambil rekomendasi dari Mubyarto (1984) yang memandang perlu diadakannya pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan keterampilan, kualitas, dan pendidikan.  Pendidikan yang dianjurkan adalah pendidikan kejuruan bukannya pendidikan umum agar warga dapat terjun langsung ke dunia kerja yang lebih baik dan memberikan upah yang tetap.
Selain itu dibutuhkan pengorganisasian yang baik dalam pemberian BLT dan memberikan bantuan pemerintah kepada warga yang benar-benar membutuhkan. Sebaiknya pemerintah turun langsung dalam memberikan BLT.
Hal yang terpenting adalah kesadaran bahwa kemiskinan merupakan permasalahan yang komprehensif dan tidak bisa dipandang hanya dari satu sisi saja sehingga harus ada perbaikan secara sistem yang diterapkan di negeri ini.


Daftar Pustaka
BPS. 2004. Data Dan Informasi Kemiskinan. Jakarta
Kuncoro. 2000. Bab II Landasan Teori. [terhubung berkala]. http://www.damandiri.or.id/file/buku/seri2bab3.pdf  (13 Juni 2011)
Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan Pedesaan. Yogyakarta: P3PK UGM
Panjaitan, Merphin. 2000. Memberdayakan Kaum Miskin. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Poli. 1993. Kemiskinan Chapter 2. [terhubung berkala]. http://digilib.petra.ac.id/ viewer...kemiskinan-chapter2.pdf  (13 Juni 2011)
Scott, James C. M. 1981. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3ES
Tampubolon, Robert. 2007. Sinergi 9 Kekuatan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo




Komentar