Kearifan Lokal dalam Pemeliharaan Harmonisasi Keluarga Kampung Pulo dengan Lingkungan
Situ Cangkuang Kabupaten Garut
Situ Cangkuang Kabupaten Garut
Situ Cangkuang merupakan salah satu kawasan wisata yang banyak diminati para wisatawan untuk berkunjung. Daya tarik utama dari Situ Cangkuang adalah adanya pulau kecil di tengah situ tersebut yang di dalamnya terdapat komplek perumahan Kampung Pulo dan Candi Cangkuang. Kampung Pulo merupakan miniatur masyarakat yang masih kuat memegang adat istiadat. Aturan-aturan adat tersebut menjadi kearifan lokal warga Kampung Pulo dalam menjaga keharmonisannya dengan lingkungan Situ Cangkuang. Selain itu, meskipun telah banyak wisatawan yang datang, kearifan lokal Kampung Pulo masih tetap terjaga.
Situ Cangkuang berlokasi di Kecamatan Leles, kota Garut dengan luas sekitar 2,5 ha. Situ Cangkuang sebagai penghubung bagi para pengunjung untuk mengunjungi Kampung Pulo yang berada di tengah situ dengan menggunakan alat transportasi air yaitu rakit. Sebagian situ mengalami sedimentasi dan telah menjadi rawa-rawa dan sawah.
Kampung Pulo berada di pulau kecil di tengah Situ Cangkuang dengan luas wilayah pemukiman sekitar 0,5 ha. Kampung Pulo terdiri dari 7 bangunan, 6 rumah adat dan satu mesjid dengan jumlah penduduk 21 orang.
Pada abad ke-17 Masehi, terjadi peperangan antara kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Embah Dalem Arif Muhammad melawan VOC (Belanda). Namun pihak kerajaan Mataram kalah total. Sebagai pemimpin, Embah Dalem Arif Muhammad merasa malu jika kembali ke Mataram sehingga ia singgah di Pulau yang kini menjadi Kampung Pulo sambil menyebarkan Islam di daerah desa Cangkuang. Embah dalem kemudian menempati Kampung Pulo dan untuk memenuhi kebutuhan air bersih, ia membuat parit untuk mengalirkan air yang bersumber dari Sungai Cicapar. Namun, lama kelamaan, parit tersebut menjadi sebuah bendungan dan kini menjadi sebuah situ yang bernama Situ Cangkuang yang mengelilingi pulau yang dimana Kampung Pulo berada.
Kearifan yang ada di Kampung Pulo yang masih tetap ditaati oleh masyarakat Kampung Pulo dapat menjaga dan mempertahankan kelestarian lingkungan disana dan Situ Cangkuang. Kearifan lokal yang ada di sana diantaranya adalah tidak boleh menambah atau pun mengurangi jumlah rumah dan kepala keluarga, memukul goong, atap tidak boleh berbentuk prisma dan memelihara hewan berkaki empat. Dari penuturan pengelola penambahan rumah akan menyebabkan meningkatnya eksploitasi sumberdaya yang ada termasuk Situ Cangkuang. Kemudian jika masyarakat memelihara hewan berkaki empat, akan menyebabkan polusi dari kotoran hewan tersebut. Dalam hal etika lingkungan, dari kearifan lokal yang mereka taati yang memperhatikan keberlanjutan lingkungan dapat dikatakan mereka menganut etika lingkungan dalam.
Tabel Perbandingan antara pandangan masyarakat Kampung Pulo dengan pandangan ilmiah mengenai akibat melakukan pelanggaran yang ditetapkan.
Larangan/aturan yang berlaku | Pandangan Masyarakat | Pandangan Ilmiah |
Tidak boleh mengurangi dan menambah jumlah rumah dan kepala keluarga | Simbol jumlah anak keturunan mbah Dalem Arif Muhammad | Menjaga lingkungan dan hutan yang ada supaya tidak tereksploitasi dengan adanya penambahan tempat pemukiman (teori etika lingkungan) |
Tidak boleh berziarah pada hari rabu | Hari rabu merupakan hari bagi Arif Muhammad untuk kegiatan keagamaan (agama Islam) | Toleransi (teori pengembangan karakter dan agama) |
Tidak boleh memelihara hewan besar berkaki empat | Menjaga kebersihan | Menjaga keindahan dan kelestarian alamnya dengan menghindari kotoran-kotoran hewan |
Tidak boleh memukul atau menabuh gong besar | Akan ada bencana besar | Menimbulkan kebisingan serta efisiensi dan efektifitas komunikasi (teori komunikasi) |
Atap rumah tidak boleh berbentuk prisma | Akan ada bencana atau ada yang meninggal | - |
** pembahasan ini disampaikan pula di Pekan Ekologi Manusia bersama para Cangkuang'ers
Komentar
Posting Komentar