“seseorang tidak akan pernah bisa
meraih mimpinya jika ia hanya berjalan di tempat”
Menjadi
berbeda itu memang unik. Entah unik dalam berpikir ataupun dalam memilih cara.
Hanya saja banyak orang yang menyelaraskan bahwa unik itu adalah ‘aneh’. Tapi bagi saya, unik mengandung makna istimewa.
Unik bisa diasumsikan ‘out of the box’
dalam berpikir, kreatif dalam berkarya, inovatif dalam perubahan, bahkan cerdas
dalam berargumen. Berbicara mengenai ‘unik’, maka akan saya singgung mengenai
pilihan unik saya untuk memilih studi di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
IPB.
Berlabel
mahasiswa di perguruan tinggi negeri ternama, tentunya menjadi cita luhur bagi
para pelajar putih abu. Beberapa bulan sebelum seleksi perguruan tinggi
bergaung, hegemoni para pelajar dalam membidik kampus idolanya kian menjamur.
Bermodalkan semangat menggebu, segala upaya dilakukan untuk mengejar apa yang
menjadi impiannya. Implikasi dari semua itu hampir seluruh bimbingan belajar (bimbel)
SMA penuh, menampung asa para pelajar yang ingin berhasil lolos dalam seleksi
perguruan tinggi. Begitu pula yang terekam dalam memori putih abu beberapa
tahun yang lalu. Masih sangat terekam jelas, ketika teman-teman satu kelas
saling memburu bimbingan belajar terbaik di Kota Garut, bahkan ada yang sampai
memilih bimbingan belajar di luar kota. Tak mau kalah dengan teman-teman yang
lain, akhirnya saya memutuskan untuk bertindak dengan ide dan antusiasme yang
berbeda, sehingga keluarlah keputusan bahwa saya tidak akan mendaftarkan diri
di bimbingan belajar manapun. Selain alasan karena tidak ingin merepotkan orang
tua dalam hal biaya, ada suatu keyakinan yang selalu tertanam dalam diri saya
bahwa untuk mecapai kesuksesan kuncinya ada dalam diri kita sendiri. Sebagus apapun bimbingan belajarnya,
bergantung kembali kepada diri kita. Mau berusaha keras untuk belajar dengan
sungguh-sungguh atau tidak? Bimbingan belajar hanya sebagai fasilitator saja… Begitu
argumen yang saya lontarkan ketika banyak teman-teman yang bertanya mengenai
ketidakikutsertaan saya dalam bimbel. Selanjutnya, saya menganalisis resiko
dari keputusan yang saya ambil. Kerugiannya adalah saya tidak dapat memperoleh
strategi atau trik khusus dalam menjawab soal tes perguruan tinggi yang
biasanya diagung-agungkan bimbingan belajar untuk menarik ‘massa’.
Pasti ada jalan menuju Roma.
Saya pun menyiasati hal tersebut dengan mengerjakan soal-soal latihan seleksi
yang banyak dimuat di buku latihan SNMPTN. Tapi ternyata, belum cukup ampuh
untuk menyamaratakan kemampuan saya dengan teman-teman yang mengikuti bimbel. Namun
semangat membara tak pernah pudar, bersama sahabat-sahabat terdekat yang
mempunyai ‘visi’ yang sama, langkah-langkah strategis pun disusun untuk dapat melangkah
pasti. Terumuskanlah program intensif untuk belajar bersama sepulang sekolah. Berbeda
dengan teman-teman SMA pada umumnya, jika jam sekolah berakhir mereka langsung
menuju tempat bimbel masing-masing, saya dan sahabat terdekat langsung menuju
sebuah masjid untuk merapat belajar bersama. Diantara sahabat-sahabat terdekat
tersebut, ada yang berbaik hati mengajarkan rumus kilat dalam menjawab soal
matematik sesuai ilmu yang disampaikan bimbingan belajar yang pernah diikutinya.
Program intensif yang digagas berasaskan persahabatan ini tidak hanya mengasah
kemampuan secara akademik, tapi juga mengeratkan ikatan hati dan membakar
semangat diri. Setiap pertemuan diadakan, kami tidak langsung memulai
pembahasan soal, tapi diawali dengan pernyataan impian oleh masing-masing
personal diikuti dengan doa bersama agar setiap kata yang disampaikan menjelma
menjadi kenyataan. Barulah setelah prosesi itu dilakukan, maka pembahasan dan
latihan soal pun dilakukan dengan perhatian dan semangat yang powerfull. Masing-masing personal
mempunyai keahlian dalam bidang pelajaran tertentu, sehingga kelebihan ini
memperlancar ‘program’.
Seiring berjalannya waktu,
hari-hari terlewati dengan semangat yang kian membara. Tak terasa usaha yang
dilakukan sudah mendekati puncaknya. Pengumuman pembukaan tes seleksi masuk
oleh perguruan tinggi ternama saling berdatangan. Hati sempat dibuat panas
ketika banyak teman-teman yang mengikuti tes seleksi masuk perguruan tinggi
dengan begitu antusias. Namun, tak satu pun memikat hati saya. Karena hati ini
telah menetapkan pada satu pilihan. Sebuah perguruan tinggi negeri yang biasa
disebut sebagai kampus rakyat: Institut Pertanian Bogor. Kesempatan pertama
hadir dengan adanya peluang terdaftar sebagai siswi yang mengikuti Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI). Semua berkas persyaratan hampir selesai dilengkapi,
tapi kegalauan seketika hadir dalam hal memilih jurusan/departemen. Berbekal
analisis dan pertimbangan yang sangat panjang dari segi minat, bakat, potensi diri,
serta informasi formal dan non formal yang didapatkan, maka terkerucutlah pilihan
pada dua jurusan di IPB, yaitu Departemen Manajemen (MAN) dan Departemen Ilmu
Keluarga dan Konsumen (IKK). Manajmen bukan jurusan yang asing lagi bagi
kebanyakan orang, namun IKK bisa jadi masih asing terdengar. Sebelum pena
didaratkan pada kertas formulir USMI, rasa ingin tahu yang begitu besar
mengenai IKK akhirnya digali lebih mendalam lagi. Informasi pertama didapatkan
dari website IKK yang membahas mengenai kompetensi lulusan dan kurikulum.
Semakin tertarik lagi ketika membaca mata kuliah yang akan dipelajari:
psikologi anak, gender dan keluarga, pengasuhan anak, pengembangan karakter,
konseling keluarga, manajmen keuangan konsumen,
ketahanan pemberdayaan keluarga, pendidikan perlindungan konsumen, dan
banyak lagi. Semakin lama mata menyoroti layar komputer, semakin tertarik dan
yakin bahwa IKK benar-benar ‘Gue Banget’. Selanjutnya, penggalian informasi
kedua ditelusuri melalui interview
dengan salah satu alumni SMA yang cukup objektif dalam berargumen.
“IKK itu departemen baru Mi. Tapi ilmunya bagus
banget. Bener-bener aplikatif buat kehidupan kita. Walaupun teteh (baca: kakak)
jurusan Statistika di IPB, tapi punya kenalan banyak di IKK dan mereka katanya seneng
banget kuliah di IKK. Teteh juga tertarik banget sebenernya ke IKK. Ada mata
kuliah psikologi anak, pengembangan karakter, dll. Pokoknya bagus deh Mi.
Recommended banget…Cocok ko buat Rahmi…”
Kembali mendapatkan penguatan yang semakin memantapkan
hati bahwa IKK adalah pilihan yang sangat patut dipertimbangkan. Terlebih IKK
menjadi satu-satunya jurusan di Indonesia yang memiliki mandat untuk
pengembangan ilmu dan teknologi di bidang keluarga dan konsumen. Otak pun
kembali berpikir bahwa dengan memilih IKK, secara tidak langsung saya dapat berkontribusi dalam mewujudkan
kesejahteraan keluarga Indonesia. Hmmm, hal itulah yang membuat saya semakin
tertantang dan bersemangat. Pada akhirnya, tertulislah IKK sebagai salah satu pilihan
jurusan dalam formulir USMI yang saya ikuti.
Berdebar-debar menunggu hasil
pengumuman USMI, teman-teman kelas
merekomendasikan saya untuk mengikuti tes-tes tulis beberapa perguruan
tinggi favorit lainnya yang membuka kembali seleksi masuk untuk beberapa
gelombang. Namun hati tak pernah tergoyahkan, bahwa yang saya tuju sudah jelas:
IPB. Kalaupun jalur USMI belum diberikan kesempatan lolos, maka kesempatan
kedua adalah di SNMPTN. Maka, waktu yang dinanti-nanti pun tiba. Ibu guru yang
khusus menangani USMI memanggil saya ke kantornya. Perasaan campur aduk menjadi
satu. Harus mempersiapkan hati ketika jawabannya TIDAK LOLOS. Ibu guru pun
menyerahkan sepucuk surat resmi berlogo IPB. Perlahan-lahan surat dibuka dengan
diiringi doa. Dengan mengucap hamdalah tiada henti, ternyata Allah menjawab doa-doa
yang telah dipanjatkan. Tak terasa air
mata telah keluar dari tempat pengasingannya. Disitu pula tertulis jelas bahwa
Rahmi Damayanti diterima di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen dengan NRP
I24090034.
Kini enam semester sudah
dilalui di kampus IPB tercinta. Menginjak semester tujuh ini, ada kebanggaan
dan rasa syukur yang menyelinap. Kesempatan menyerap dan menimba ilmu di IKK
adalah karunia yang berharga. Mengenal dosen-dosen yang cerdas, bijak, kreatif,
inovatif, juga ceria serta kegiatan belajar dan mengajar yang tak biasa.
IKK-lah yang membuat saya semakin peka dengan kehidupan, memberikan penerangan
dan kejelasan mengenai pentingnya membangun kualitas hidup yang dimulai dari
institusi terkecil bernama keluarga. Maka, tak usah ragu dengan IKK. Karena IKK
untukku, untukmu, dan untuk kita semua J
Building
Human Capital for Better Lives…Go IKK…!
Assalamu'alaikum, Kak. :) lagi browsing tentang IKK, nemu tulisan ini.
BalasHapusMasyaAllah, terimakasih tulisannya :D salam kenal kak Rahmi, saya IKK angkatan 50